Peta satelit Kota Palu setelah gempa mengguncang.
Sumber gambar: ©2018 Digital Globe, a Maxar Technologies company
Secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada ujung pergerakan empat lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia, Hindia dan Pasifik. Kondisi geologi dan geografi demikian telah membentuk natural resources dan hazards, serta menjadikan Indonesia sangat berpotensi terhadap bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, tsunami, letusan gunung berapi, dan tanah longsor.
Kejadian bencana Palu dan Dongala (2018) di Sulawesi menambah deretan catatan kebencanaan yang terjadi di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2018 mencatat setidaknya telah terjadi 362 kali kejadian gempa bumi di Provinsi Sulawesi Tengah. Kekuatan gempa Palu dan Donggala mencapai 7.4 SR, yang mengakibatkan bencana susulan berupa tsunami di sepanjang pantai Talise, Kota Palu, dan di sepanjang pantai di Kabupaten Donggala. Bencana alam tersebut juga disertai dengan likuifaksi, yaitu kondisi yang terjadi akibat goncangan gempa, yang memampatkan tanah berpasir yang menyebabkan air dari lapisan tanah terdorong dan mengalir ke permukaan.
Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi bencana Palu dan Donggala dapat dikatakan sebagai bencana alam terparah sepanjang tahun 2018, disusul dengan bencana banjir pada tahun 2019 dan 2020 di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara, serta Gempa Bumi pada tahun 2021 di Sulawesi Barat dan banjir di Sulawesi Tengah pada tahun 2022. Efek yang ditimbulkan akibat kejadian bencana alam tersebut mengakibatkan kerusakan dan kerugian, yang dikelompokkan menjadi bahaya geologi, bahaya hidrometeorologi, bahaya biologi, bahaya teknologi dan penurunan kualitas lingkungan.
Dewasa ini isu-isu kebencanaan semakin marak dibicarakan, namun sayangnya perhatian terhadap dampak bencana pada keanekaragaman hayati kurang menjadi perhatian serius. Hal ini dibuktikan dengan langkanya penelitian mengenai hal ini di Indonesia. Bencana alam diprediksi akan memberikan tekanan pada lingkungan perairan darat termasuk perairan danau yang mengakibatkan perubahan kemampuan produktivitasnya, kualitas dan kuantitas air, hingga bencana keairan dalam beberapa dekade mendatang. Perubahan ini akan berdampak pada menurunnya keanekaragaman hayati dan memperparah kerusakan lingkungan yang sedang berlangsung. Manusia dan alam idealnya hidup berdampingan secara harmonis. Bencana ekologis tersebut bisa disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam dan perusakan lingkungan yang berlebihan dalam meraup keuntungan tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan hidup masyarakat dimasa yang akan datang.
Bencana yang terjadi secara berturut-turut ini berdampak pada segala sektor, termasuk perdagangan hewan peliharan. Daerah yang menjadi pusat bencana diketahui sebagai sentra ikan hias. Karena terjadinya bencana, daerah tersebut terisolasi selama beberapa hari hingga kembali pulih. Bencana alam berupa banjir berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup hewan-hewan akuatik di Sulawesi, seperti udang dan ikan. Walau diyakini biota akuatik bisa bertahan hidup lebih baik ketika diterjang banjir, tapi diragukan apakah mereka bisa bertahan ketika keluar dari habitat asli mereka. Hewan yang hidup di sungai dan danau sudah mengalami proses adaptasi, jika terjadi perubahan tentu akan berdampak pada kelangsungan hidup mereka.
Bila biota akuatik mengalami perubahan lingkungan drastis akibat bencana, dari lingkungan mereka yang sebelumnya ke perairan yang berlumpur tebal, maka mereka pasti akan terpengaruh. Kalaupun tidak mati, maka akan ada perubahan habitat karena udang dan kepiting yang tersapu luapan air akan tersebar ke tempat lain di luar habitat asli mereka.
Peluang riset dan pengaplikasian Teknologi Penanggulangan Risiko Bencana sangat luas, dimulai dari pemahaman terhadap karakteristik ancaman, kerentanan, dan kapasitas masyarakat. Termasuk juga didalamnya prediksi cuaca, kesiapsiagaan, dan komunikasi risiko, sehingga dirasa perlu untuk melakukan kolaborasi dengan semua pihak. Kolaborasi yang dimaksud dapat berupa penguatan regulasi, institusi, serta perencanaan berbasis Penanggulangan Risiko Bencana sesuai dengan amanat UU No 24 tahun 2007. Ketika kita dihadapkan dengan era Revolusi Industri 4.0, maka penerapan RI 4.0 untuk pengambilan keputusan penanggulangan bencana harus sudah dapat diterapkan dengan cara peningkatan pemanfaatan Internet of Things, Big Data, dan Artificial Intelligence (AI). Sehingga dari beberapa hal tersebut diatas, dirasa perlu juga dukungan dan sinergi dari berbagai pihak untuk mendorong riset kebencanaan nasional dan juga dampaknya terhadap keanekaragaman hayati perairan khususnya di Sulawesi yang memang menjadi daerah rawan bencana.
Perlu adanya persiapan impact based forecasting dan risk based warning menuju disaster ready nation. Beberapa hal yang sepertinya perlu ditingkatkan oleh pemerintah Indonesia dalam persiapan mengatasi kebencanaan adalah ketersediaan informasi dan Early Warning System, kerja sama internasional, dan strategi penanggulangan risiko bencana nasional dan lokal.
Surya Gentha Akmal & Jiří Patoka